Selasa, 10 Maret 2009

Senyuman Cinta Pertama


”Jat, cepetan dikit dong! Mau pulang nggak?” teriak Bobby dari kejauhan kepadaku. Aku yang ketika itu berada di antara cewek – cewek cantik tersentak kaget. Kenapa dia memanggilku Jat. Padahal kan sudah kubilang untuk memanggilku miko saja. Di samping mutunya jauh lebih tinggi, tingkat keserasian nama dengan muka setara pula. Tapi sudahlah, teman baikku yang ini memang aku beri dispensasi untuk boleh memanggil aku Jat. Hanya untuk sekadar mengingatkan bahwa nanti kalau aku sudah jadi orang top tidak lupa kalau aku punya nama depan Jat.

Namaku Jatmiko. Biasanya sih dipanggil miko. Tapi teman – teman lebih suka memanggilku Jat. Sebenarnya aku tidak begitu suka dipanggil Jat, soalnya kesannya seperti aku ini orang bejat. Entah apa yang ada di benak mereka. Coba bayangkan jika ada temanku yang memanggil aku dari kejauhan dan saat itu aku berada di antara cewek – cewek cantik. Ah, betapa malunya aku. Berapa lapis selotip nanti yang harus kutempelkan di mukaku. Ratusan? Lebih.

Ketika matahari memancarkan sinar putihnya dan orang – orang sudah sibuk sekali dengan segala tetek bengeknya, aku baru saja bangun. Lagi – lagi nanti aku harus telat pergi ke sekolah seperti hari – hari biasanya. Sebenarnya aku sudah bosan dengan rutinitasku yang seperti ini. Dorongan dari cita – citaku yang ingin jadi orang top membawaku untuk berubah. Aku akan bangun lebih pagi. Aku akan memulainya mungkin bulan depan karena aku butuh waktu untuk belajar dan yang terpenting memberikan perpisahan yang manis untuk bangun siangku yang selama ini telah menemani hari – hariku.

Pagi yang cerah untuk jiwa yang sepi. Memang, pagi ini tak seperti biasanya. Lebih cerah dan secerah hatiku saat ini. Mungkin ini hari baikku. Entah apa yang nanti akan kutemui, kudapatkan, kualami. Masih jadi tanda tanya yang tanggung. Aku melintasi lorong sekolah yang lengang dan sepi. Sesepi kuburan di malam hari hentakan kakiku seolah memecahkan keheningan di semua penjuru. Suara angin yang berhembus pun seolah menari melenggang merayakan kemenagannya mempermalukan suasana sepi. Hening. Tapi ini kan masih pagi, horor sekali pikiranku. Bukan, ini sudah siang dan aku telat lagi. Aku pun berlari tungggang langgang layaknya seorang atlit lari yang berlaga diperhelatan akbar, seperti olimpiade. Yang ada di pikiranku hanya lari dan terus berlari. Dengan penuh dukungan dan semarak gegap gempita dari para penonton yang menghiasi stadion membuatku menggebu – gebu membakar semangat. Kecepatan lariku pun tak terbendung. Hingga pada akhirnya aku menabrak sesuatu yang tiba – tiba saja ada di depanku.

Guuuuubraaaaaaaaaaaakkk....

Cewek. Kaget. Panik.

”Maaf – maaf, aku nggak sengaja. Aku buru – buru. Udah telat nih.”mohonku kepada cewek itu.

Cewek itu pun hanya menganggukkan kepalanya. Entah dia memaafkan aku atau tidak, tapi masa bodoh. Aku pun langsung melesat menuju ke kelas meninggalkannya. Tertegun, terkejut, tersentak setelah aku berada di depan kelas melihat pemandangan di dalamnya. Ternyata di sana suasana sudah lengang, hening, dan sepi. Seperti acara pemakaman saja. Penuh haru dan tangis di mana – mana. Rasa kehilangan akan orang yang dicintai dan disayangi menyelimuti seiap pelayat yang datang mengantarkan kepergian di peristirahatan terakhir. Suasana kelas yang sepi dan hening ini ternyata disebabkan oleh sosok seorang bapak – bapak yang berdiri dengan angkuhnya di depan kelas. Pak Basirin . Dengan perawakan tubuh yang besar yang mungkin lebih pantas menjadi algojo ini memiliki dua mata hitam yang di tumpangi alis menjulur ke atas. Sosok ini tak pernah aku harapkan sekali pun ada dalam hidupku.

Aku dengan wajah lemas dan pasrah masuk menuju kelas. Pasti aku akan dihukum habis – habisan seperti biasanya.

”Kamu jam segini baru masuk ke mana saja?”, tanya Pak Basirin padaku dengan raut wajah yang sedikit aneh. Biasnya kalau dia marah dia memasang mata melotot. Tapi ini lain. Wajahnya sedikit dihiasi dengan senyuman. Aku tak kaget. Mungkin ini penyakit tua yang sering dialami para guru – guru galak. Penyakit bosan ngamuk.

”Sudah. Sana ke tempat dudukmu dan lekas ikuti pelajaranku dengan tertib.”

Namun, aku yang masih ragu – ragu dengan sikap pak Basirin hari ini segera saja menuruti perintahnya. Mimpi apa aku semalam samapai – sampai telat hingga jam segini tak terkena hukuman. Mungkin ini salah satu tanda kalau hari ini adalah hari baikku.

Pikiranku tak konsen lagi mengenai pelajaran setelah tiba – tiba aku teringat akan cewek yang kurobohkan dengan tubuhku tadi pagi. Sepertinya aku pernah mengenalnya. Namun di mana aku belum tahu. Aku tadi memang hanya melihatnya sepintas. Namun ada sesuatu yang langsung melekat pada diriku saat terjadi pertemuan singkat itu. Apa ini yang dinamakan dengan cinta pada tabrakan pertama. Tak mungkin. Aku kan sudah punya kekasih. Tania namanya. Aku sangat mencintai dia dengan setulus hati. Aku bangga memilikinya dan berjanji untuk setia selalu menemaninya. Dia pun mencintai aku apa adanya. Kami saling menyayangi.

Hiruk – pikuk suara anak – anak sekolah yang baru pulang melintasi pintu gerbang menghiasi siang ini. Jalanan yang tadinya agak sepi kini ditumpahi oleh ratusan anak sekolah. Akhir pekan yang menyenangkan. Aku dan Bobby berjalan menuju sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Di sana kami sudah dinanti oleh dua orang cewek. Aku dan Bobby memang pulang agak telat karena ada urusan sebentar di sekolah. Jadi aku meminta pada para cewek itu pergi ke kafe duluan daripada menungguku di sekolah. Ternyata kami sudah dinanti di kafe. Tania yang sudah menungguku dari tadi mengomeliku.

” Dari mana aja sih? Lama banget. Males tahu nungguinnya.” omelnya.

” Kan aku udah sms kalo ada urusan bentar di kelas. Maafin aku ya, sayang.”

” Ya udahlah. Nggak pa – pa.”

Kami pun mulai mengobrol saling bertukar hal yang kami alami selama seminggu. Layaknya sepasang merpati yang sedang dilanda asmara, kami begitu menikmati setiap momen tiap kami bertemu. Hingga aku pun melupakan Bobby yang ternyata juga sudah asyik mengobrol dengan Mora di bagian sudut kafe.

Tania memang segalanya bagiku. Dialah yang selama ini mendukungku di saat aku berjuang, menghiburku di saat aku sedih, dan mengingatkanku untuk tak sombong di saat aku menang. Aku hanya bisa membalasnya dengan cintaku. Setidaknya itulah yang bisa aku berikan untuknya selama ini. Enam malam bulan purnama telah menghiasi hubungan kami. Memang ini belum ada apa – apanya. Umur hubungan kami memang masih sebesar biji jagung. Tapi meskipun begitu aku sangat bahagia bersamanya. Kegembiraanku tak bisa kuungkapkan dengan kata – kata saat ini. Setelah kami puas kami pun pulang. Aku mengantarkan Tania hingga ke rumahnya. Bobby yang masih ingin menghabiskan waktunya bersama Mora masih berada di kafe.

Aku pulang dengan perasaan senang dan hati lega karena hari ini aku bisa mengobati rasa kangenku pada Tania. Setelah satu minggu kami tak saling bertemu berbincang karena kesibukan masing – masing. Saat ini aku memang duduk di bangku kelas sembilan dan aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian nasional pada akhir tahun pelajaran nanti. Mengikuti les ke sana ke mari sudah kujadikan awal usahaku. Terkadang aku memang agak jenuh hidup satu dunia dengan rutinitasku ini. Dan aku butuh pemberi semangat, pemberi aku sesuatu yang beda. Maka untuk itulah aku memiliki Tania.

”Bob, kemarin lusa aku nabrak cewek waktu lari gara – gara telat. Emang sie nggak ada yang dirugikan, malah diuntungkan tapi aku kok masih penasaran ya ma cewek itu. Rasa – rasanya aku pernah ngelihat tu cewek. Tapi di mana ya?” curhatku pada Bob di pagi yang agak mendung ini.

”Emang yang mana orangnya?”

”Cantik, rambutnya lurus, matanya agak sipit tapi bukan orang cina soalnya kulitnya kuning kecoklat – coklatan, hidungnya nggak terlalu mancung, bibirnya tipis sexy, trus body-nya langsing berisi.”

”Weeeleeeeh...kamu ini. Detail amat deskripsinya. Trus siapa namanya? Anak kelas berapa?” tanya Bob penuh antusias

”Aku ya nggak tahu dong. Bego banget sie kamu. Ni aku baru mau nanya ma kamu. Kamu tahu nggak cewek yang kusebutin ciri – cirine tadi? Bob, aku nafsu banget ni pengen ketemu lagi ma itu cewek”

”Ah, kamu ini. Denger ya, Jat. Kalo tu cewek emang jodoh ma kamu pasti kalian berdua ditemuin lagi. Tapi buat apa sie? Mau kamu gebet?lha Tania mau kamu taruh di mana?” sindir Bobby.

”Emang kunci ditaruh – taruh? Ya nggak segitunya lah. Pikiranmu itu terlalu jauh. Aku masih sayang kok sama The Tania My Sweetheart.”

”wekekekeh...nada bicaramu itu lho sok puitis. Udahlah, gurunya dah mau dateng itu lho.”

Suara bel sekolah tanda istirahat sudah berbunyi memecahkan semua konsentrasi siswa yang sedang belajar. Tak lama kemudian setelah bel berbunyi, hanya terpaut sepersekian detik sebuah bangunan yang di dalamnya terdapat berbagai macam segala bentuk makanan dikeroyok secara masal dan beringas. Tak tanggung – tanggung demi mencukupi kebutuhan perut mereka rela mendesak – desakkan diri di antara mereka. Saling ingin mencapai satu tujuan yang sama. Makan.

Di lain pihak, ada dua orang anak manusia. Laki – laki semua. Yang satu gantengnya terbukti dan yang satu agak pas – pasan. Itulah Jatmiko dan Bobby. Mereka sedang menderapkan langkah menuju ke sebuah ruangan. Ke sebuah ruangan di salah satu gedung sekolah ini yang berisi berbagai macam bentuk manusia yang tersaji dalam pria dan wanita dan terkreasi dengan bebeapa tipe wajah yang berbeda. Di sana terdapat banyak meja beserta berjuta – juta tumpukan kertas yang berada di tiap atasnya. Ruang guru.

Begitu ramai ruangan itu hingga suara ketukan pintu dariku tak terdengar. Aku pun langsung saja masuk ke dalam. Sudah capek jariku yang lentik ini mengetuk pintu. Kutemui Pak Basirin untuk mengumpulkan tugas yang telah dia berikan.

”Tumben ngumpulin tepat waktu? Sebelum waktu imsaknya lagi. Kamu nggak lagi sakit kan, Mik?” sindir Si Basirin. Aku hanya meringis. Dalam benakku berkecamuk. Diem napa, Bawel amat.

Toh, itu tugas juga berkat bantuan dari Tania. Makanya, selesainya cepat. Tania memang pahlawanku. Ai lof yu banget deh buat Tania.

Aku dan Bobby melewati koridor Sekolah dekat Ruang Guru. Ketika kami sedang ngobrol sambil jalan tiba – tiba kami berpapasan dengan dua orang cewek. Sepertinya aku mengenali salah satu dari mereka. Ketika aku baru tersadar kalau salah satu cewek yang tadi melewati aku dan Bobby ternyata cewek yang kutabrak kemarin, mereka sudah jauh berada di belakang berjalan jauh membelakangi aku dan Bobby. Aku pun lemas dan kecewa sebab aku sudah mengimpi – impikan bisa melihat wajahnya yang lucu itu. Namun, tiba – tiba ketika aku menoleh ke belakang melihatnya sekali lagi, dia pun ternyata melakukan hal yang sama. Oh, tidak. Ingatanku pun berputar membuka memori tujuh tahun lalu.

***

Langit biru ditemani gumpalan awan putih yang menari – nari di angkasa. Selalu gembira karena sang matahari masih bersemangat memancarkan sinar segarnya ke bumi. Hari masih agak siang karena dipaksa oleh sang waktu yang berjalan agak lambat melewati tiap detiknya. Suasana di Madrasah kini mulai ramai bersamaan dengan pulangnya para murid santri penerus tongkat estafet kaum muslim di negara ini. Merekalah penerus bangsa. Aku yang berada di antara para murid itu terdiam sejenak. Terpana seolah melihat sesosok hantu yang besarnya bukan main. Namun ini lain. Aku seperti melihat bidadari yang baru mendarat di bumi. Pandanganku yang mengarah kepada seorang gadis kecil berkerudung merah tak bisa kupalingkan ke arah mana pun meski hanya sedetik. Aku begitu heboh melihatnya. Wajah gadis itu putih bersinar mengalahkan mentari. Sungguh luar biasa ketika sejenak saja aku melihat senyuman yang mengembang di wajahnya. Bayang senyuman itu akan selalu kuingat. Gadis kecil itu memakai baju muslim berwarna merah dilengkapi dengan kerudung yang berwarna merah pula. Kerudung itu menghiasi wajahnya sehingga tampak sekali aura solehah yang melekat pada dirinya. Entah apa yang aku rasakan. Jantungku bergenderang sangat cepat. Aliran darahku terpompa secara otomatis. Hembusan nafasku tak bisa kukontrol. Gila. Pikirkanku runyam. Apa aku suka padanya? Tak mungkin. Aku masih tujuh tahun. Tapi kalau ini benar, dialah cinta pertamaku. Senyumannya tak kan pernah bisa kulupakan. Senyuman cinta pertama. Tapi aku tak pernah berani melakukan hal lebih dari memandangnya dari jauh. Aku malu.

***

”Ooww, yang waktu itu kita ketemu di koridor? Namanya kalau tidak salah Nisa. Kenapa?” tanya Bobby setelah menjawab pertannyaanku.

”Ini seperti de ja vu, Bob. Itu cewek yang aku maksud. Akhirnya, kutemukan yang kucari.”

“Emang kamu abis nyari apaan? Gopek? Gak usah dicari, ni tak kasih aja,” ejek si Bobby.

“Setan….”

“Habisnya, kamu itu ngoceh sendiri kayak orang sedeng. Emangnya kenapa ama cewek itu?”

”Dia itu yang aku ceritain ma kamu tempo hari kemarin. Usahain nomor teleponnya dong?” pintaku kepada Bobby dengan tampang agak melas.

”Iya. Ntar aku usahain,” sahutnya. Lega perasaanku setelah Bobby meng-iya-kan permintaanku. Bobby memang begitu orangnya. Dia baik hati dan suka menolong. Apalagi kalau menolong aku, sepertinya dia sangat hobi.

Seminggu berselang, akhirnya nomor handphone Nisa bisa kudapatkan. Betapa bahagianya diriku saat ini. Ingin segera rasanya aku berkenalan dengannya, mengenalnya lebih dekat, dan biarkanlah semuanya berlalu. Luapan kegiranganku memang seperti orang gila. Tapi harus bagaimana, memang kenyataan inilah yang sedang aku rasakan. Baru mendapatkan nomor telponnya saja sudah seperti orang gila, bagaimana kalau sudah kenal, lalu seterusnya, dan seterusnya.

Dua minggu aku pedekate dengannya, sudah banyak yang bisa kudapatkan. Tanggal lahirnya, zodiaknya, makanan favoritnya, warna kesukaannya, pokoknya banyak deh. Semua orang tak perlu heran. Itulah aku. JatMIKO. Aku pun kini sering saling berkomunikasi dengannya. Tukar cerita, curhat, bercanda ke sana ke mari hingga tak tentu arah. Namun semua itu hanya berani aku lakukan dalam sms saja. Aku belum bisa memberanikan diri bertemu langsung dengannya. Malu. Namun lambat laung akhirnya aku dan Nisa berencana untuk bertemu di sebuah supermarket.

Pertemuan yang kunantikan itu pun akhirnya terjadi. Aku benar – benar gugup berada di depannya saat ini. Sendi – sendi tulangku seakan lumpuh tak mampu berfungsi akibat getaran yang hebat dari tulangku. Tidak. Ini terlalu hiperbol. Kuhirup nafas dalam – dalam dan mulai menyapanya.

”Hai, apa kabar?” tanyaku basa – basi.

” Baik,” jawabnya. Nisa menjawabnya dengan lemah lembut. Oh, tidak. Seperti tertembak butiran kain sutra aku mendengarkan suaranya yang indah itu. Kami pun melanjutkannya dengan saling mengobrol, bercerita banyak mengenai diri kami masing – masing. Akrab sekali aku dan dia. Kadang – kadang di tengah perbincangan kami, dia mengembangkan senyuman mempesonanya seperti saat tujuh tahun yang lalu itu, senyuman yang indah dan penuh pesona. Sampai sekarang pun aku masih melihat senyuman itu. Aku tergila – gila padanya. Dia membuatku lupa akan segalanya.

Setahun berlalu....

Kini aku sudah berada di kelas sepuluh. Nisa adalah cinta pertamaku. Kutemukan dirinya waktu aku masih kecil. Meskipun aku masih kecil, tapi pada waktu itu aku yakin kalau aku dan dia adalah satu. Dan kini sudah kudapatkan senyuman cinta pertamaku. Cinta pertama adalah cinta sejatiku. Aku menyayanginya. Aku mencintai Nisa.

Setahun yang lalu....

Kutemui Tania di kafe biasa kami memadu kasih. Kafe itu hari ini memang sepi. Seakan memang telah dipersiapkan untuk kita berdua. Tania sudah menungguku di sebuah meja tempat biasa kami duduk berdua, tempat biasa kami saling memandang, saling menyayangi, dan mencintai. Namun semua itu sudah cukup.

”Ada apa, Mik? Tumben ngajak ketemuan,” tanya Tania dengan penuh senyum. Namun senyumannya tak kubalas sedikit pun.

” Tan, aku bahagia banget bisa milikin kamu. Kamu adalah harta yang pernah kumiliki yang terindah, yang berharga, dan yang akan selalu akan kujaga. Aku selalu menyayangimu di setiap hembus nafasku. Tapi itu dulu, Tan.”

” Maksud kamu apa sih, Mik? Ada apa ini?” kutemukan air mata Tania mulai mencair.

” Jujur, Tan. Aku selingkuh. Kamu nggak perlu ngelabrak dia dan marahin dia karena bukan dia yang salah. Aku. Aku yang salah. Tapi semua itu aku lakuin dengan sadar diri. Aku memang mencintainya. Aku ngerasa kita udah nggak cocok. Maaf, aku udah khianatin kamu. Aku nggak bisa nepatin janjiku untuk terus bisa nemenin kamu. Aku nggak bisa ngebuktiin kalau aku setia ma kamu. Sampai jumpa, Tan.”

Seiring dengan kepergianku saat itu juga, kudengar isak tangis Tania membahana mengiringi derap langkahku yang pergi meninggalkan tempat itu. Namaku JATMIKO.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar