Selasa, 10 Maret 2009

Lulus Dalam Pendadaran

Hujan rintik-rintik menyelimuti kota Bandung pagi ini. Dari semalam hujan turun tiada henti sampai paginya pun hujan semakin deras. Tetapi ternyata sekitar jam 10 matahari tampak dan panas menyergap seolah-olah tak pernah terjadi hujan sebelumnya. Memang penglihatan dimanapun terlihat terang dan segar. Lapangan basket yang masih terlihat basah terguyur hujan, daun hijau dan bunga yang baru saja mekar menghiasi sekeliling sekolahku.

Hari Jumat hari pendek. Pulang sekolah aku mampir ke sebuah mini-market untuk membeli sabun dan pasta gigi. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh tepukan Dimas yang mendarat di pundakku.

”Hai Neshia, ngeborong niye? Siap-siap lho shia, kamu akan ditinggal pacarmu.” Katanya sambil cengengesan.

”Mau ditinggal kemana, mas?” tanyaku.

”Tunggu aja tanggal mainnya!” Jawab Dimas dan langsung pergi dengan motornya.

Aku adalah anak yang bisa dibilang berasal dari keluarga yang berada. Ayahku bekerja di bidang politik di kotaku. Tapi meskipun begitu aku tak mau teman-teman menjauhiku hanya karna status yang aku punya, ataupun mereka mau berteman denganku tapi gara-gara statusku. Oleh karna itu aku berusaha untuk selalu berbuat baik terhadap teman-temanku.

Dimas. Dia adalah teman akrab Marwa, pacarku. Mereka sudah berteman sejak SMP. Sampai sekarang menurut cerita teman-temannya yang sudah aku kenal, Marwa dan Dimas dijuluki kutu buku oleh lainnya. Sukanya main ke perpustakaan dan kalau udah baca sesuatu pasti betah sampe berjam-jam.

Marwa datang ke rumahku yang kata anak-anak muda jaman sekarang istilahnya wakuncar, yang pasti pada saat malam libur saja. Begitu juga kalau dia tahu jika aku mau ulangan, pasti ia tak pernah menunjukkan keberadaanya jika aku belum selesai. Katanya takut kalau ganggu. Dulu aku kenal Marwa karena pertemuan yang tidak disengaja. Ayahnya adalah teman kerja ayahku. Makanya, hubungan keluarga kami sangatlah akrab. Marwa itu anaknya pintar, baik, dan taat pada Agama. Disamping itu Marwa sangat perhatian padaku. Mengenai sekolahku ataupun lainnya. Dan aku selalu diajak maen keluar dengan seijin ibuku tentunya.

”Nes, kamu itu beruntung banget lho, sayang. Meskipun kamu gak punya kakak, tapi Marwa itu perhatian sama kamu. Memang dasarnya anak itu pinter dan kelakuannya baik.” Kata ibu padaku. Tapi aku Cuma diam saja. Batinku membenarkan apa yang dikatakan oleh ibuku tadi.

Sabtu malam minggu Marwa datang membawa seseorang yang sebelumnya belum pernah ku kenal. Waktu itu Marwa juga membawa sebuah pot yang berisi bunga mawar putih. Bunga itu memang menjadi bunga kesukaanku. Setelah bertemu dengan Ayah dan Ibuku seperti biasanya, aku langsung keluar menemuinya.

Marwa berkata, ”Neshia, kenalkan ini temanku.” Aku dan temannya Marwa bersalaman. Neshia-Agis.

”Kok bawa mawar putih, kang?” Tanyaku.

”Iya. Kalo tak kasih pasti adek gak mau ngrawat kan?” Marwa serius.

”Ya mau lah, kang... itu kan bunga favoritku.”

”Tapi nanti pindah ke tanah aja ya, kalau di pot kan terbatas tempat.”

”Gimana? Apa perlu dipindahin sekarang. Biar akang yang nanem, jadi Neshia Cuma nyirami dan ngrawat aja.” Marwa menawarkan.

”Terserah deh, aku ngikut aja.” Jawabku.

Aku dan Marwa langsung menuju halaman sebelah kanan rumahku. Setelah mencari-cari mana tempat yang cocok, Agis mengikuti kami. Marwa berkata, ”Disaksikan sama Agis ya, Sha. Ini sebagai pengingat-ingat Neshia punya tugas buat ngejagain ini sambil nunggu aku pulang nanti dari tugas demi masa depan diri sendiri.”

Aku kaget dengan apa yang baru saja Marwa ucapka. ”Emanya kamu mau pergi ke mana?”

”Neshia, ini sudah menjadi keputusan dari sekolah. Kalau aku ikut terpilih terkirim ke Australia diantara 9 anak termasuk Dimas. Dipilih anak yang pintar buat pertukaran pelajar yang juga akan dikirim ke Indonesia. Neshia harusnya seneng. Bukan begitu?” Marwa menatapku tajam.

Aku mengangguk dan langsung teringat oleh omongan Dimas waktu ketemu di mini-market dulu, kalau aku mau ditinggal Marwa.

”Kamu gak usah kuatir, shia. Nanti biar Agis yang bantu kamu kalau kesulitan belajar. Dia sanggup kok.”

Benar, setelah sebulan Marwa dan teman-teman lainya berangkat dikirim ke negara kanguru untuk keperluan tugas belajar. Sewaktu pertama ditinggal Marwa, rasanya sangat berat. Tapi Marwa paling tidak seminggu sekali pasti telfon atau sekedar sms. yang pasti diberi jarak biar gak keseringan. Soale dia kalo takut ganggu.

Aku melamun dan setelah sadar terlihat gelasku sudah terisi penuh meluber membanjiri tempat di sekelilingnya. Mungkin aku teringat Marwa. Aku tahu tak seharusnya aku bersikap terus-terusan seperti ini. Ibuku menyarankan agar aku menyiasati ini semua dengan memperbanyak kegiatanku. Kebetulan sekarang Kak Agis sering datang ke rumah. Awalnya aku merasa malu juga dperhatiin Agis. Tapi saking seringnya dia maen ke rumah, rasa sungkan itu hilang. Malah kalau dua hari aja dia gak datang bisa-bisa dia malah menjadi orang yang kuharap-harapkan banget kedatangannya.

Agis masih kuliah. Tapi ia juga kerja sambilan menjadi guru les anak-anak SD gitu. Yah...lumayan deh buat nambahin uang jajan. Biasanya juga aku diajak jalan-jalan keluar sama dia. Nonton bioskop, makan, atau sekedar window-shopping aja. Persis kalau Marwa ngajak aku. Suatu ketika aku dan Agis sedang jalan-jalan di sebuah mall.

”Liat deh shia. Bagus gak? Kalau kamu suka yang mana?”

”Wah, jelas suka semuanya atuh. Bagus semua kok.” Jawabku

”Pilih aja dek, salah satu tak beliin deh,” Dia menawari

”Hehe..kapan-kapan aja. Itu kan pasti harganya mahal. Nanti aja kalau uangmu udah banyak.” Agis terlihat kecewa mendengar jawabanku seperti itu. Tapi gak papa lah. Bisa-bisa nanti aku dibilang cewek matre. Buatku harga diri itu melebihi segalanya. Aku kan cewek dan dia cowok. Iya kalau pemberiannya itu tulus. Kalau ada Pamrih? Itu yang selalu aku ingat-ingat.

Tahun baru di Bandung. Udah pasti mah jalanan Bandung macet, berisik, dan aaaarrrgghh....pokoknya rame pisan lah. Tadi tuh kayaknya sebelum Magrib langit Bandung udah mendung tanda mo’ ujan. tapi gak tau deh. Gak jadi. Aku keluar rumah jam setengah tujuh malam. Dan melihat jalanan dago sangatlah ramai sesak sama mobil plat B! . Awalnya aku ma Agis mau ke pusat kota ngrayain taun baru gitu. Yeah, pas nyampe pintu keluar area perumahan, aku belok aja ke sumur Bandung. Macet. Well, akupun jalan lagi menuju daerah sukajadi lewat tamansari. Ternyata macet juga. Kayaknya waktuku habis terbuang buat muter-muter Bandung aja deh.

Pas udah nyampe tempat tujuan, disana orang-orang udah pada ngumpul dan jumlahnya buanyak banget. Agis menggenggam erat tanganku. Seperti gak mau kehilangan aku aja. Rasa-rasanya aku sudah seperti pergi sama Marwa. Aku selalu ditawari apa aja kalau aku pengen sesuatu. Tapi aku pasti selalu jawab tidak. Pas mau pulang, Agis membeli sesuatu, katanya buat oleh-oleh Ayah-Ibu, yang pastinya Beliau belum tidur karena menunggu kedatanganku.

Nyampe rumah rasanya badanku seudah pegel semua. Tapi kenapa mau masuk halaman rumah mesin motor Agis dimatikan. ” Turun dulu Nes. aku mau ngomong bentar.” kata Agis.

”Kalau mau ngobrol ya di rumah aja, kan gak enak kalau diliat tetangga.”

Agis diam dan langsung mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam jok motornya.

”Neshia, ini buat kamu. Tapi nanti aja bukanya di kamar kalau aku udah pulang. Kalau kamu gak suka bisa dituker.”

”Wah, kok malah ngrepoti sih, kang?”

” Enggak kok. Itu kemauanku.”

Sebelum mengetuk pintu, Agis berbalik kepadaku sambil berbisik, ”Ini salah satu acara taun baruan yang paling menyenangkan Makasih ya udah mau nemenin. Aku suka kamu. Met bobok....”

Bukan main kagetnya aku. Tapi itu semua langsung hilang ketika Ibuku sudah membukakan pintu. Agis langsung memberikan bungkusan yang dibelinya tadi dan berkata, ”Langsung saja bu, sudah malam”

Aku pun terburu-buru masuk untuk membuka apa yang diberikan Agis tadi. Ternyata sebuah jam tangan mahal. Dan dibawahnya tertulis ”Kalau tidak suka masih bisa ditukar.”

Tidak, aku tetap setia pada Marwa. Dalam hati aku berpikir bahwa tak mungkin kalau tidak ada pamrih. Aku berniat untuk menegembalikannya. Karena aku sudah ada yang punya meskipun belum mutlak. Aku tak mau menyakiti hatinya. Orang yang kusayayangi. Kalau aku terima, pasti dia meminta yang lebih dari itu. Barang itu akan segera ku kembalikan. Bagaimanapun caranya. Meskipun aku sudah bersiap tidur, merangkul guling, dan berselimut rapat-rapat, aku belum bisa tidur mikirin apa yang terjadi padaku tadi. Aku berniat untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun.

Tiga hari kemudian. Sore ketika aku baru menyirami bunga mawar putihku yang sekarang sudah jadi besar dan mulai berbunga Agis datang. Aku mengetahui kedatangannya tapi aku pura-pura tidak mengetahui. Akhirnya dia mendekatiku dan bertanya, ” Berkebun ya dek? Wah, mawarnya udah gede ya?”

”Iya tak jaga terus kok, seperti pesan yang ngasih. Silakan masuk, aku bersih-bersih dulu.” Aku masuk kamar untuk mengambil barang yang akan ku kembalikan. Aku bergegas keluar.

”Maaf, aku kembalikan. Aku gak bisa nerima ini.”

Agis hanya memandangku diam. Dan dimasukkannya kotak itu kedalam saku jaketnya. Setelah itu, hatiku tersa lega, tak ada lagi beban moral.

***

Tak terasa sudah setahun lamanya Marwa sekolah di luar negeri. Aku sudah rindu berat ingin bertatap muka lagi dengan dia. Ketika aku pulang sekolah, belum sempat aku berganti pakaian Ayah menghampiriku.

”Ada kabar baik untukmu.”

”Kabar baik apa,yah?”

”Neshia, nanti tanggal 23, jadi seminggu lagi Marwa pulang ke tanah air. Gantian sama temannya yang juga dikirim ke sana. Tadi Ayah dapat kabar dari ayahnya. Sepertinya hanya itu informasi yang Ayah terima. Paling-paling kalau sudah dekat tanggal Marwa akan kasih kabar kamu.”

Pastinya aku bahagia mendengar kabar itu. Tapi mikirin juga sih apa yang akan ku katakan selama aku ditinggal Marwa. Ah...lebih baik katakan apa adanya. Jujur. Semuanya akan ku ceritakan pada Marwa. Juga tentang Jam tangan mahal pemberian Agis yang ku kembalikan. Gimana tentang perkataan Agis kalau dia menyukaiku? Bilang...Enggak...Bilang...Enggak...? Ah, lebih baik cerita aja. Toh itu bukan kemauanku. Pokoknya jujur. Kalo seumpama Marwa marah, ya sudah...terserah....

Hari yang ku nantikan tiba. Aku sudah bersiap diri untuk menjemput Marwa di Bandara. Ternyata Agis juga menyambut Marwa disana. Ketika Marwa sudah berhadapan langsung dengan kami, ia langsung menyalami orang tuanya dan berkata kepada Agis, ”Terima kasih sudah menjaga adikku, apa balesanku?”

”Sama-sama, wa.”

Jelas aku bingung dengan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua sahabat itu. Entahlah....

Beberapa hari kemudian, Marwa datang ke rumahku. Aku yang sedang berada di depan langsung menyambutnya. Setelah itu aku dan Marwa menuju halaman dimana bunga mawar putih yan diberikan Marwa berada.

”Mawarnya cantik ya, kayak yang punya.” kata Marwa memulai percakapan.

”Yang punya kan kamu, wa...” Aku menjawab

”Tapi kan sudah ku pasrahkan semua padamu. Coba shia ceritakan apapun yang terjadi selama ku tinggal.”

Aku langsung menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Masalah Marwa marah, urusan nanti. Memang kenyataannya seperti itu. Setelah selesai bercerita, Marwa bertanya “Sebetulnya Neshia suka gak sama jam tangan yang di berikan itu?”

Aku menjawab jujur, ”Aku ya suka, Wa, seumpama barang itu pemberian kamu.”

Marwa langsung mengeluarkan sebuah kotak sembari berkata, ”Kalau suka ya...ini..silakan.”

Setelah ku buka, ”Eh..lho. Gimana ini Wa?”

”Gak usah bingung, shia. Agis itu sebetulnya kakakku. Kakak sepupu. Selama aku pergi aku ingin Agis menjagamu,melindungi selayaknya pacar, ku suruh membelikan apapun yang kamu inginkan. Tapi aku minta Agis tak mengaku kalau aku yang nyuruh dia. E...ya syukur deh. Neshia tidak tergiur ataupun terpengaruh oleh semua itu. Dan tetap setia sama Marwa. Berarti Neshia lulus dalam pendadaran. Aku tambah mantep punya Neshia.”

Aku tak bisa menahan rasa tawaku. Aku sangat bahagia banget deh pokoknya.

~Terima kasih~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar